Sabtu, 05 Desember 2009

membuat batik

Perlengkapan Membatik

Bandul
Terbuat dari kayu, timah, atau batu yang di kantongi. Fungsi utama Bandul ialah menahan mori yang baru dibatik agar tidak mudah tergeser tertiup angin, atau tarikan si pembatik secara tak disengaja. Sehingga  pekerjaan membatik dapat saja dilaksanakan tanpa menggunakan bandul. 


Canting
Terbuat  dari tembaga, dipergunakan untuk menulis (melukiskan malam), membuat motif-motif batik yang diinginkan.. 

Dingklik (lincak)
Dingklik atau lincak pada prinsipnya sama, sebagai tempat duduk si pembatik. Tetapi pembatik dapat pula duduk diatas tikar. 

Anglo
Terbuat dari tanah liat, atau bahan lain. Sebagai perapian pemanas “malam”. Apabila mempergunakan Anglo, maka bahan untuk membuat api ialah arang kayu. Jika mempergunakan kayu bakar anglo diganti dengan keren, keren banyak dipergunakan orang di desa-desa. Keren pada prinsipnya sama dengan Anglo, tetapi tidak bertingkat. Atau juga dapat diganti dengan kompor sebagai pemanas.


Gawangan
Terbuat dari bahan kayu, atau bambu. Gawangan ialah perkakas untuk membentangkan mori sewaktu dibatik.. Gawangan harus mudah dipindah - pindah, tetapi juga harus kuat dan ringan. 

Saringan malam
Alat  untuk menyaring malam. sehingga kotoran malam dapat diasrin lalu dibuang, sehingga tidak mengganggu jalannya cucuk genting saat dipergunakan untuk membatik. 

Tepas
Terbuat dari bambu, sebagai alat untuk membesarkan api sesuai kebutuhan :. Selain tepas, digunakan juga ilir. Tepas dan ilir pada prinsipnya sama, hanya berbeda bentuk. Tepas berbentuk empat persegi panjang dan meruncing pada salah satu sisi lebarnya serta tangkainya terletak pada bagian yang runcing. Sedangkan ilir berbentuk bujur sangkar dengan tangkainya terletak pada salah satu sisi serta memanjang kesamping. 

Taplak
Kain yang berguna melindungi bagian  paha si pembatik agar terlindung dari terkenanya tetesan malam panas sewaktu canting di tiup, atau saat membatik. 

Wajan
Wajan dibuat dari logam baja, atau tanah liat. Dan berfungsi sebagai tempat mencairkan malam(lilin untuk membatik).. Wajan sebaiknya bertangkai agar mudah dalam penggunaanya, ini dimaksudkan agar dapat diangkat atau diturunkan dari perapian tanpa mempergunakan alat lain. Oleh karena itu wajan yang terbuat dari tanah liat lebih baik dari pada yang terrbuat dari logam, karena tangkainya tidak mudah panas. Tetapi wajan tanah liat memerlukan peroses yang lebih lama dalam memanaskan malam. 


Bahan-Bahan

Mori

Mori adalah bahan baku batik dari katun. Kwalitet mori bermacam-macam, dan jenisnya sangat menentukan baik buruknya kain batik yang dihasilkan. Karena kebutuhan Mori dari macam-macam kain tidak sama, keterangan dibawah ini barangkali bermanfaat juga.

Ukuran Mori

Mori yang dibutuhkan sesuai dengan panjang pendeknya kain yang dikehendaki. Ada juga kebutuhan yang pasti misalnya udeng atau ikat kepala. Udeng berukuran lebih atau kurang dari kebutuhan; oleh karena itu tidak dapat dipergunakan sesuai dengan pemakaian yang semestinya. Tetapi kain tidak pasti ukurannya. Jika pendek akan mempengaruhi kesempurnaan pemakainya; jika lebih panjang akan menambah sempurna dalam pemakaian.
Ukuran panjang pendek mori biasanya tidak menurut standar yang pasti, tetapi dengan ukuran tradisionil. Ukuran tradisionil tersebut dinamakan sekacu. Kacu ialah sapu tangan, biasanya berbentuk bujur sangkar (persegi). Maka yang disebut sekacu ialah ukuran perseginya mori, diambil dari ukuran lebar mori tersebut. Jadi panjang sekacu. dari suatu jenis mori akan berbeda dengan panjang sekacu dari mori jenis lainnya. Maka lebar mori sangat menentukan panjang masing-masing jenis mori, meskipun jumlah kacunya sama. Cara mengukurnya pun hanya dengan jalan memegang kedua sudut mori pada sebuah sisi lebar dan menempelkan salah satu sudut tadi pada sisi panjang berseberangan sepanjang lebar mori. Kalau akan mengambil beberapa kacu, maka berganti-ganti tangan kiri dan kanan memegang sudut mori itu, menempelkan pada sisi panjang yang sama dengan menekuk mori.

Kebutuhan Akan Mori

Kain dodot membutuhkan mori 7 kacu. Kain dodot biasanya dipakai oleh keluarga keraton atau penari klasik. Tetapi karena kain dodot mahal harganya, maka fungsi kain dodot para penari diganti oleh kain biasa yang cukup panjang. Kain nyamping membutuhkan 2 atau 2,5 kacu, menurut kesenangan atau besar kecilnya si pemakai. Udeng membutuhkan mori sekacu. Udeng ada dua macam : œudeng lembaran dan œudeng jadi. Udeng jadi ialah udeng yang sudah terbentuk, tinggal pakai. Udeng jadi ini sebenarnya hanya membutuhkan kain setengah kacu, dan memotongnya secara diagonal. Sedang udeng lembaran dibentuk sewaktu akan dipakai, langsung dikepala si pemakai; selesai dipakai udeng itu dilepas lagi. Udeng terakhir ini membutuhkan mori sekacu ; tetapi secara praktis juga hanya setengah kacu, karena setengah kacu lagi terlipat didalam sebagai penebal belaka. Oleh karenanya udeng lembaran dapat dibatik menurut dua macam motif batik dengan batas salah satu diagonal. Dalam dalam hal udeng yang memakai dua macam motif batik itu, si pemakai bebas memilih motif mana yang ditaruh diluar untuk diperlihatkan.
Kain kemben membutuhkan 5 kacu, dan dapat kurang atau lebih sesuai dengan besar kecilnya si pemakai. Fungsi kemben dapat disamakan dengan BH jaman sekarang. Sering fungsi kemben diganti oleh kutang (BH Klasik). Tetapi banyak orang perempuan memakai kutang dan kemben bersamaan dan bahkan masih memakai baju (kebaya). Biasanya kemben dipakai oleh Abdi Istana sebagai ganti kebaya. Celana membutuhkan 1,5 kacu; juga tergantung besar kecilnya si pemakai. Orang laki-laki jaman dahulu (sebelum tahun 1940 an) banyak memakai celana batik sampai lutut. Selain memakai celana sering masih memakai sarung atau bebet. Bebet yaitu sama dengan nyamping bagi perempuan. Tetapi bebet biasanya diwiru salah satu ujung kainnya, dan wiru terletak pada bagian depan. Diwiru artinya dilipat kecil-kecil bentuk spiral. Kain sarung membutuhkan 2 kacu.

 Mengolah Mori Sebelum Dibatik

sebelum dibati mori harus diolah lebih dahulu. Baik buruknya pengolahan akan menentukan baik buruknya kain. Pengolahan mori sebagai berikut:
  • Mori yang sudah dipotong diplipit. Diplipit adalah dijahit pada bekas potongan supaya benang pakan tidak terlepas. Benang pakan ialah benang yang melintang pada tenunan.
  • Setelah diplipit kemudian di cuci dengan air tawar sampai bersih. Kalau mori kotor, maka kotoran itu akan menahan meresapnya cairan lilin (malam) yang dibatikan dan menahan cairan warna pada waktu proses pembabaran. Di daerah Yogyakarta dan Surakarta mori dijemur sampai kering setelah dicuci bersih mori terus direbus.
  • Cara merebus mori di daerah Blora. Lebih dahulu orang membuat Wantu, yaitu air yang dipanaskan dalam suatu wadah sebelum sesuatu barang yang direbus di masukkan didalamnya. Wadah untuk membuat Wantu diberi dasar di dalamnya, supaya barang rebusan tidak hangus. Sebagai wadah dasar tadi digunakan daun bambu, daun pepaya atau merang (tangkai bulir padi). Bahan-bahan tadi lebih baik dari bahan lainnya untuk dasar merebus sesuatu, karena meskipun hangus tidak akan mengerut dan arangnya tidak mengotori mori.
  • Setelah wantu panas, mori bersih dimasukkan di masukan di dalamnya. Cara memesukkan mori kedalam wantu mulai dari ujung sampai pangkal secra urut. Rebusan memakan waktu beberapa menit.
  • Mori kemudian diangkat dan dicuci untuk menghilangkan kotoran sewaktu direbus.
  • Selesai dicuci barulah dijemur sampai kering. Mori menjadi lemas ; kemudian dikanji. Bahan kanji ialah beras.
  • Di daerah Blora dipakai sembarang beras asalkan putih. Beras direndam beberapa saat dalam air secukupnya; kemudian beras bersama airnya direbus sampai mendidih. Air rebusan beras diambil dan dinamakan tajin.
  • Mori kering dimasukkan kedalam tajin sampai merata; tanpa diperas langsung dijemur supaya kering. Akhirnya mori menjadi kaku.
  • Tetapi didaerah Yogyakarta dan Surakarta pada jaman sebelum perang bahan kanji terbuat dari beras ketan; dan cara pembuatannya pun berbeda-beda. Ada yang memakai cara seperti didaerah Blora, tetapi ada juga dengan cara beras dijadikan tepung halus. Apabila berupa tepung, sesenduk tepung diberi empat gelas besar air, dimasak sampai mendidih, kemudian disaring. Air saringan seukuran tadi hanya untuk mori sekacu.
  • Mori kering sehabis dikanji akan mengerut dan kaku. Maka mori diembun-embunkan setiap pagi beberapa hari. Diembun-embunkan ialah dibentangkan diluar rumah waktu pagi hari ( jam 5.00), supaya menjadi lembab karena air embun.
  • Selain mori lembab, kemudian dikemplong. Di Kemplong ialah di pukuli pada tempat tertentu dengan cara tertentu pula, supaya benang-benang menjadi kendor dan lemas, sehingga cairan lilin dapat meresap.
  • Cara mengemplong mori. Disediakan kayu kemplongan sebagai alas dan alu pemukul atau  (ganden ialah martil agak besar terbuat dari kayu). Mori dilipat memanjang menurut lebarnya. Lebar lipatan lebih kurang setengah jengkal ; kemudian ditaruh diatas kayu dasar memanjang, lalu dipukul-pukul. Jika perlu dibolak-balik agar pukulan menjadi rata.
  • Selesai dikemplong, tinggal menentukan motif matikan yang dikehendaki. Jika ingin motif parang-paragan, atau motif-motif yang membutuhkan bidang-bidang tertentu, maka mori digaris terlebih dahulu.
  • Fungsi pengarisan ini hanyalah untuk menentukan letak motif agar menjadi rapi (lurus).
  • Pembatik yang sudah mahir tidak menggunakan penggarisan.
  • Besar kecilnya garisan tidak sama, tergantung pada motif rencana batikan. Biasanya kayu garisan berpenampang bujur sangkar.
  • Cara memindah kayu penggaris setelah garisan pertama ke garis kedua ialah dengan memutar kayu penggaris (membalik), tanpa mengangkatnya.
  • Maka lebar sempitnya ruang antara garis satu sama lain ditentukan oleh banyaknya putaran kayu penggaris.
  • Mori yang dibatik motif semen tidak perlu digaris, langsung dirangkap dengan pola pada muka mori sebaliknya. Setelah semua itu selesai, barulah dapat dimulai kerja membatik.

Pola

Pola ialah suatu motif batik dalam mori ukuran tertentu sebagai contoh motif batik yang akan dibuat

Lilin (Malam)

Lilin atau malam ialah bahan yang dipergunakan untuk membatik. Sebenarnya malam tidak habis (hilang), karena akhirnya diambil kembali sewaktu proses mbabar, proses pengerjaan dari membatik sampai batikan menjadi kain. Tentang malam dapat dikemukakan sebagai berikut:

Proses Membatik

Mori yang sudah dikemplongi dan digarisi, apabila akan dibatik dengan motif jenis parang-parangan atau motif lain yang membutuhkan bidang tertentu secara lurus, umumnya di rujak artinya membatik tanpa menggunakan pola, orang yang membatik demikian disebut ngrujak. Orang yang ngruja adalah orang yang sudah ahli. Sedang orang baru taraf belajar atau belum mahir biasanya hanya nerusi atau ngisen-ngiseni. Sedangkan membatik dengan mempergunakan pola sudah diterangkan dimuka. Baik membatik ngrujak maupun membatik mempergunakan pola, biasanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah ahli, sebab taraf permulaan ini merupakan penentuan baik-buruknya bentuk batikan secara keseluruhan.

Persiapan Membatik

  • Karen, atau anglo, dan wajan berisi malam harus sudah siap untuk mulai membatik. malamharus sempurnya cairnya (malam tua) supaya lancar keluarnya melaului cucuk canting; selain itu malam dapat meresap dengan sepurna dalam mori. Api dalam anglo atau keren harus dijaga tetap membara, tetapi tidak boleh menyala, karena berbahaya kalau menjilat malam dalam wajan.
  • mori yang sudah dipersiapkan harus telah berbeda di atas gawangan dekat keren, atau anglo. Si pembatik duduk di antara gawangan dan keren, atau anglo. Gawangan berdiri di sebelah kiri dan keren di sebelah kanan pembatik. Orang yang pekerjaannya membatik disebut pengobeng.
  • setelah semuanya beres pembatik mulai tugasnya. Pertama memegang canting. Cara memegangcanting berbeda dengan cara memegang pensil, atau vulpen untuk menulis. Perbedaan itu di sebabkan ujung cucuk canting bentuknya melengkung dan berpipa besar, sedang pensil atau vulpen lurus. Memegang canting dengan ujung-ujung ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah seperti memegang pensil untuk menulis, tetapi tangkai canting horisontal, sedangkan pensil untuk menulis dengan posisi condong. Posisi canting demikian itu untuk menjaga agar malam dalam nyamplungan tidak tumpah.
  • dengan canting itu pengobeng menciduk malam mendidih dengan wajan kemudian dibatikan diatas mori. Sebelum di batikan canting ditiup lebih dahulu. Cara meniup pun dengan cara tertentu, agar malam dalam nyaplungan tidak tumpah pada bibir pengobeng.
  • Canting di tiup dengan maksud :
  • Untuk mengembalikan cairan malam dalam cucuk ke dalam nyamplungan, supaya tidak menetes sebelum ujung canting ditempelkan pada mori.
  • Untuk menghilangkan cairan malam yang membasahi cucuk canting; karena cucuk canting yang berlumuran cairan malam akan mengurang baiknya goresan, terutama ketika permulaan canting di goreskan pada mori.
  • Untuk mengontrol cucuk canting dari kemungkinan tersumbat oleh kotoran malam. Kalau tersumbat, maka cairan dalam nyamplungan tidak bersuara, karena udara tidak dapat masuk. Maka lubang ujung cucuk ditusuk memakai ijuk, atau serabut kelapa sampai masuk sepanjang cucuk. Biasanya sesudah ditusuk ditiup kembali, atau langsung dibatikan pada mori. Keistimewaan menusuk ialah memakai tangan kiri dengan cara tertetu dalam waktu yang cepat.
  • Canting yang beres keadaannya barulah digoreskan pada mori. Tangan kiri terletak disebalik mori sebagai landasan (penguat) mori yang baru digores dengan canting. Jika cairan malam dalam nyamplungan habis, atau kurang lancar mungking karena pendinginan, malam itu dikembalikan kedalam wajan; canting dicidukan pada cairan malam dalam wajan itu juga. Pengembalian cairan malam yang sudah dingin tidak besar pengaruhnya terhadap malam dalam wajan. Hal itu dilakukan sampai selesai, dan termasuk nemboki.

Tahap-Tahap Membatik

Membatik sepotong mori harus dikerjakan tahap demi tahap. Setiap tahap dapat dikerjakan oleh orang yang berbeda. Tetapi sepotong mori tidak dapat dikerjakan beberapa orang bersamaan waktu. Tahap-tahap itu alah:

Membatik Kerangka

Membatik kerangka dengan memakai pola disebut mola, sedang tanpa pola disebut ngrujak. Mori yang sudah dibatik seluruhnya berupa kerangka, baik bekas memakai pola maupun dirujak, disebut batikan kosongan, atau disebut juga Klowongan. Canting yang dipergunakan ialah canting cucuk sedeng yang disebut juga canting klowongan.

Ngisen Iseni

Ngisen-iseni dari kata isi. Maka ngisen-iseni berarti memberi isi atau mengisi. Ngisen-iseni dengan mempergunakan canting cucuk kecil disebut juga Canting Isen. Canting isen bermacam-macam. Tetapi sepotong mori belum tentu mempergunakan seluruh macam canting isen, tetapi tergantung pada motif yang akan dibuat. Umpama memerlukan bermacam-macam canting isen karenaberaneka motif; tetapi membatik harus satu persatu, dan setiap bagian harus selesai sebelum bagian yang lain dikerjakan dengan canting lain misalnya kalau nyeceki (membuat motif yan terdiri dari titik-titik ), bagian cecekan harus selesai seluruhnya. Kegiatan mengerjakan bagian-bagian mempunyai nama masing-masing ; nama tersebut menurut nama canting yang dipergunakan. Proses pemberian nama ialah dengan mengubah nama benda (nama canting) menjadi kata kerja, sedang hasil kerjanya diambil dari nama canting yang di pergunakan. Nama itu ialah : nyeceki yaitu mempergunakan canting cecekan, hasilnya nama cecekan. Neloni ialah mempergunakan canting Telon, hasilnya disebut Telon. Mrapati ialah mempergunakan Canting Prapatan, hasilnya bernama Prapatan dan seterusnya. Tetapi mempergunakan Canting Galaran atau canting Renteng, selalu disebut nggalari, dan tidak pernah disebut ngrentengi; sedang hasilnya selalu disebut galaran, tidak pernah disebut rentengan. Cara mengunakan canting bertahap itu banyak keuntungannya. Keuntungan pertama ialah canting dapat dipergunakan bergantian dalam satu rombongan pengobeng (pembatik) yang berbeda-beda tugasnya (berbeda tahap batikan yang dikerjakan); keuntungan keduan ialah mengurangi jumlah canting yang semacam meskipun anggota pengobeng cukup banyak. Kalau dua orang bersamaan akan mengunakan canting semacam, sedangkan canting hanya sebuah, maka salah satu dapat menundanya dan mengerjakan bagian lain dengan canting lain. Demikian seterusnya. Batikan yang lengkap dengan isen-isen disebut reng-rengan. Oleh karena namanya reng-rengan, maka pengobeng yang membatik sejak permulaan sampai penyelesaian (akhir) memberi isen-isen disebut ngengreng. Jadi ngengrengan merupakan kesatuan motif dari keseluruhan yang dikehendaki. Hal itu merupakan penyelesaian yang pertama.

Nerusi

Nerusi merupakan penyelesaian yang kedua. Batikan yang berupa ngengrengan kemudian di balik permukaannya, dan di batik kembali pada permukaan kedua itu. Membatik nerusi ialah membatik mengikuti motif pembatikan pertama pada bekas tembusinya. Nerusi tidak berbeda dengan mola dan batikan pertama berfungsi sebagai pola. Canting-canting yang di pergunakan sama dengan canting untuk ngengreng. Nerusi terutama untuk mempertebal tembusan batikan pertama serta untuk memperjelas. Batikan yang selesai pada tahap ini pun masih disebut ngengreng. Pengobeng yang membatik dari permulaan sampai nerusi disebut ngengreng.

Nembok

Sebuah batikan tidak seluruhnya diberi warna, atau akan diberi warna yang bermacam-macam pada waktu proses penyelesaian menjadi kain. Maka bagian-bagian yang tidak akan diberi warna, atau akan diberi warna sesudah bagian yang lain harus di tutup dengan malam. Cara menutupnya seperti cara membatik bagian lain dengan mempergunakan canting tembokan. Canting tembokan bercukuk besar. Orang yang mengerjakan disebut nemboki dan hasilnya disebut tembokan. Bagian yang ditembok biasanya disela-sela motif pokok. Menembok biasanya mempergunakan malam walitet terendah. Meskipun malam penuh kotoran, tetapi canting bercucuk besar tidak banyak terganggu. Selain itu bagian tembokan cukup lebar dan tebal, sehingga kurang baiknya malam untuk nembok dapat diatasi. Pada hakekatnya fungsi malam selain untuk membentuk motif, juga untuk menutup pada tahap-tahap pemberian warna kain, diamana warna itu sebagai pembentuk motif batik yang sesungguhnya. Nembok hanya pada sebelah muka mori.

Bliriki

Bliriki ialah nerusi tembokan agar bagian-bagian itu tertutup sungguh-sungguh. Bliriki mempergunakan canting tembokan dan caranya seperti nemboki. Apabila tahap terakhir ini sudah selesai berarti proses pembatikan selesai juga. Hasil bliriki disebut blirikan tetapi jarang demikian, lebih biasa disebut tembokan. Memang membatik disebut selesai apabila proses terakhir tadi selesai, atau kalau batikan tidak perlu ditembok, maka yang disebut batikan selesai adalah sebelum ditembok. Pada jaman yang silam di daerh Surakarta, setiap selesai tahap-tahap tadi, batikan dijemur sampai malamnya hampir meleleh. Maksud penjemuran itu ialah agar supaya lilin pada mori tidak mudah rontok atau hilang. Sebab malam panas (mendidih) waktu dipergunakn untuk membatik dan bersinggungan dengan mori dingin akan membeku dengan tiba-tiba karena proses kejut. Pembekuan malam itu kurang baik, karena batikan sering patah-patah dan malam mudah rontok. Tetapi jika dijemur, pemanasan terjadi secara merata, danmori ikut terpanasi. Mori yang mengalami pemanasan sinar matahari akan mengembang, dan mempunyai daya serap. Proses pengembangan ini memperkuat melekatnya malam yang mulai akan meleleh ; sebelum malam itu meleleh batikan harus diangkat dengan hati-hati ketempat teduh, batikan secara serentak akan mendingin. Proses pendinginan ini pun ada keuntungannya, karena antara mori dan malam saling memperkuat daya lekat. Selesailah kerja membatik.

Minggu, 01 November 2009


BATIK CUWIRI [Batik Tulis]



Zat Warna : Soga Alam

Kegunaan : Sebagai “Semek’an” dan Kemben. Dipakai saat upacara “mitoni”

Unsur Motif : Meru, Gurda

Filosofi : Cuwiri artinya kecil-kecil, Diharapkan pemakainya terlihat pantas dan dihormati

sejarah batik

Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.

Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.

Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.

Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.

Jaman Majapahit
Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.

Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.

Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.

Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.

Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.

Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.

Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri kearah timur dan sampai sekarang bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.

Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.

Jaman Penyebaran Islam
Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.

Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.

Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni bafik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.

Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.

Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.

Batik Solo dan Yogyakarta
Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitamya abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian. Namun perkembangan selanjutnya, pleh masyarakat batik dikembangkan menjadi komoditi perdagamgan.

Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan “Sidomukti” dan “Sidoluruh”.

Sedangkan Asal-usul pembatikan didaerah Yogyakarta dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-I dengan raj any a Panembahan Senopati. Daerah pembatikan pertama ialah didesa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada trap pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombonasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton.

Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan kedaerah Timur Ponorogo, Tulungagung dan sebagainy a. Meluasny a daerah pembatikan ini sampai kedaerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu.

Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut pangeran Diponegoro mengembangkan batik.

Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkem-bang di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon.

Perkembangan Batik di Kota-kota lain
Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah Sokaraja dibawa oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegero setelah selesa-inya peperangan tahun 1830, mereka kebanyakan menet-ap didaerah Banyumas. Pengikutnya yang terkenal waktu itu ialah Najendra dan dialah mengembangkan batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat pewama dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah kesemuan kuning.

Lama kelamaan pembatikan menjalar pada rakyat Sokaraja dan pada akhir abad ke-XIX berhubungan langsung dengan pembatik didaerah Solo dan Ponorogo. Daerah pembatikan di Banyumas sudah dikenal sejak dahulu dengan motif dan wama khususnya dan sekarang dinamakan batik Banyumas. Setelah perang dunia kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan oleh Cina disamping mereka dagang bahan batik. .

Sama halnya dengan pembatikan di Pekalongan. Para pengikut Pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini kemudian mengembangkan usaha batik di sekitara daerah pantai ini, yaitu selain di daerah Pekalongan sendiri, batik tumbuh pesat di Buawaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Adanya pembatikan di daerah-daerah ini hampir bersamaan dengan pembatikan daerah-daerah lainnya yaitu sekitar abad ke-XIX. Perkembangan pembatikan didaerah-daerah luar selain dari Yogyakarta dan Solo erat hubungannya dengan perkembangan sejarah kerajaan Yogya dan Solo.

Meluasnya pembatikan keluar dari kraton setelah berakhirnya perang Diponegoro dan banyaknya keluarga kraton yang pindah kedaerah-daerah luar Yogya dan Solo karena tidak mau kejasama dengan pemerintah kolonial. Keluarga kraton itu membawa pengikut-pengikutnya kedaerah baru itu dan ditempat itu kerajinan batik terus dilanjutkan dan kemudian menjadi pekerjaan untuk pencaharian.

Corak batik di daerah baru ini disesuaikan pula dengan keadaan daerah sekitarnya. Pekalongan khususnya dilihat dari proses dan designya banyak dipengaruhi oleh batik dari Demak. Sampai awal abad ke-XX proses pembatikan yang dikenal ialah batik tulis dengan bahan morinya buatan dalam negeri dan juga sebagian import. Setelah perang dunia kesatu baru dikenal pembikinan batik cap dan pemakaian obat-obat luar negeri buatan Jerman dan Inggris.

Pada awal abad ke-20 pertama kali dikenal di Pekajangan ialah pertenunan yang menghasilkan stagen dan benangnya dipintal sendiri secara sederhana. Beberapa tahun belakangan baru dikenal pembatikan yang dikerjakan oleh orang-orang yang bekerja disektor pertenunan ini. Pertumbuhan dan perkembangan pembatikan lebih pesat dari pertenunan stagen dan pernah buruh-buruh pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto lari ke perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi dari pabrik gula.

Sedang pembatikan dikenal di Tegal akhir abad ke-XIX dan bahwa yang dipakai waktu itu buatan sendiri yang diambil dari tumbuh-tumbuhan: pace/mengkudu, nila, soga kayu dan kainnya tenunan sendiri. Warna batik Tegal pertama kali ialah sogan dan babaran abu-abu setelah dikenal nila pabrik, dan kemudian meningkat menjadi warna merah-biru. Pasaran batik Tegal waktu itu sudah keluar daerah antara lain Jawa Barat dibawa sendiri oleh pengusaha-pengusaha secara jalan kaki dan mereka inilah menurut sejarah yang mengembangkan batik di Tasik dan Ciamis disamping pendatang-pendatang lainnya dari kota-kota batik Jawa Tengah.

Pada awal abad ke-XX sudah dikenal mori import dan obat-obat import baru dikenal sesudah perang dunia kesatu. Pengusaha-pengusaha batik di Tegal kebanyakan lemah dalam permodalan dan bahan baku didapat dari Pekalongan dan dengan kredit dan batiknya dijual pada Cina yang memberikan kredit bahan baku tersebut. Waktu krisis ekonomi pembatik-pembatik Tegal ikut lesu dan baru giat kembali sekitar tahun 1934 sampai permulaan perang dunia kedua. Waktu Jepang masuk kegiatan pembatikan mati lagi.

Demikian pila sejarah pembatikan di Purworejo bersamaan adanya dengan pembatikan di Kebumen yaitu berasal dari Yogyakarta sekitar abad ke-XI. Pekembangan kerajinan batik di Purworejo dibandingkan dengan di Kebumen lebih cepat di Kebumen. Produksinya sama pula dengan Yogya dan daerah Banyumas lainnya.

Sedangkan di daerah Bayat, Kecamatan Tembayat Kebumen-Klaten yang letaknya lebih kurang 21 Km sebelah Timur kota Klaten. Daerah Bayat ini adalah desa yang terletak dikaki gunung tetapi tanahnya gersang dan minus. Daerah ini termasuk lingkungan Karesidenan Surakarta dan Kabupaten Klaten dan riwayat pembatikan disini sudah pasti erat hubungannya dengan sejarah kerajaan kraton Surakarta masa dahulu. Desa Bayat ini sekarang ada pertilasan yang dapat dikunjungi oleh penduduknya dalam waktu-waktu tertentu yaitu “makam Sunan Bayat” di atas gunung Jabarkat. Jadi pembatikan didesa Bayat ini sudah ada sejak zaman kerjaan dahulu. Pengusaha-pengusaha batik di Bayat tadinya kebanyakan dari kerajinan dan buruh batik di Solo.

Sementara pembatikan di Kebumen dikenal sekitar awal abad ke-XIX yang dibawa oleh pendatang-pendatang dari Yogya dalam rangka dakwah Islam antara lain yang dikenal ialah: PenghuluNusjaf. Beliau inilah yang mengembangkan batik di Kebumen dan tempat pertama menetap ialah sebelah Timur Kali Lukolo sekarang dan juga ada peninggalan masjid atas usaha beliau. Proses batik pertama di Kebumen dinamakan teng-abang atau blambangan dan selanjutnya proses terakhir dikerjakan di Banyumas/Solo. Sekitar awal abad ke-XX untuk membuat polanya dipergunakan kunir yang capnya terbuat dari kayu. Motif-motif Kebumen ialah: pohon-pohon, burung-burungan. Bahan-bahan lainnya yang dipergunakan ialah pohon pace, kemudu dan nila tom.

Pemakaian obat-obat import di Kebumen dikenal sekitar tahun 1920 yang diperkenalkan oleh pegawai Bank Rakyat Indonesia yang akhimya meninggalkan bahan-bahan bikinan sendiri, karena menghemat waktu. Pemakaian cap dari tembaga dikenal sekitar tahun 1930 yang dibawa oleh Purnomo dari Yogyakarta. Daerah pembatikan di Kebumen ialah didesa: Watugarut, Tanurekso yang banyak dan ada beberapa desa lainnya.

Dilihat dengan peninggalan-peninggalan yang ada sekarang dan cerita-cerita yang turun-temurun dari terdahulu, maka diperkirakan didaerah Tasikmalaya batik dikenal sejak zaman “Tarumanagara” dimana peninggalan yang ada sekarang ialah banyaknya pohon tarum didapat disana yang berguna un-tuk pembuatan batik waktu itu. Desa peninggalan yang sekarang masih ada pembatikan dikerja-kan ialah: Wurug terkenal dengan batik kerajinannya, Sukapura, Mangunraja, Maronjaya dan Tasikmalaya kota.

Dahulu pusat dari pemerintahan dan keramaian yang terkenal ialah desa Sukapura, Indihiang yang terletak dipinggir kota Tasikmalaya sekarang. Kira-kira akhir abad ke-XVII dan awal abad ke-XVIII akibat dari peperangan antara kerajaan di Jawa Tengah, maka banyak dari penduduk daerah: Tegal, Pekalongan, Ba-nyumas dan Kudus yang merantau kedaerah Barat dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya. Sebagian besar dari mereka ini adalah pengusaha-pengusaha batik daerahnya dan menuju kearah Barat sambil berdagang batik. Dengan datangnya penduduk baru ini, dikenallah selanjutnya pembutan baik memakai soga yang asalnya dari Jawa Tengah. Produksi batik Tasikmalaya sekarang adalah campuran dari batik-batik asal Pekalongan, Tegal, Banyumas, Kudus yang beraneka pola dan warna.

Pembatikan dikenal di Ciamis sekitar abad ke-XIX setelah selesainya peperangan Diponegoro, dimana pengikut-pengikut Diponegoro banyak yang meninggalkan Yogyakarta, menuju ke selatan. Sebagian ada yang menetap didaerah Banyumas dan sebagian ada yang meneruskan perjalanan ke selatan dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya sekarang. Mereka ini merantau dengan keluargany a dan ditempat baru menetap menjadi penduduk dan melanjutkan tata cara hidup dan pekerjaannya. Sebagian dari mereka ada yang ahli dalam pembatikan sebagai pekerjaan kerajinan rumah tangga bagi kaum wanita. Lama kelamaan pekerjaan ini bisa berkembang pada penduduk sekitarnya akibat adanya pergaulan sehari-hari atau hubungan keluarga. Bahan-bahan yang dipakai untuk kainnya hasil tenunan sendiri dan bahan catnya dibuat dari pohon seperti: mengkudu, pohon tom, dan sebagainya.

Motif batik hasil Ciamis adalah campuran dari batik Jawa Tengah dan pengaruh daerah sendiri terutama motif dan warna Garutan. Sampai awal-awal abad ke-XX pembatikan di Ciamis berkembang sedikit demi sedikit, dari kebutuhan sendiri menjadi produksi pasaran. Sedang di daerah Cirebon batik ada kaintannya dengan kerajaan yang ada di aerah ini, yaitu Kanoman, Kasepuahn dan Keprabonan. Sumber utama batik Cirebon, kasusnya sama seperti yang di Yogyakarta dan Solo. Batik muncul lingkungan kraton, dan dibawa keluar oleh abdi dalem yang bertempat tinggal di luar kraton. Raja-raja jaman dulu senang dengan lukisan-lukisan dan sebelum dikenal benang katun, lukisan itu ditempatkan pada daun lontar. Hal itu terjadi sekitar abad ke-XIII. Ini ada kaitannya dengan corak-corak batik di atas tenunan. Ciri khas batik Cirebonan sebagaian besar bermotifkan gambar yang lambang hutan dan margasatwa. Sedangkan adanya motif laut karena dipengaruhioleh alam pemikiran Cina, dimana kesultanan Cirebon dahulu pernah menyunting putri Cina. Sementra batik Cirebonan yang bergambar garuda karena dipengaruhi oleh motif batik Yogya dan Solo.

+Pembatikan di Jakarta
Pembatikan di Jakarta dikenal dan berkembangnya bersamaan dengan daerah-daerah pembatikan lainnya yaitu kira-kira akhir abad ke-XIX. Pembatikan ini dibawa oleh pendatang-pendatang dari Jawa Tengah dan mereka bertempat tinggal kebanyakan didaerah-daerah pembatikan. Daerah pembatikan yang dikenal di Jakarta tersebar didekat Tanah Abang yaitu: Karet, Bendungan Ilir dan Udik, Kebayoran Lama, dan daerah Mampang Prapatan serta Tebet.

Jakarta sejak zaman sebelum perang dunia kesatu telah menjadi pusat perdagangan antar daerah Indonesia dengan pelabuhannya Pasar Ikan sekarang. Setelah perang dunia kesatu selesai, dimana proses pembatikan cap mulai dikenal, produksi batik meningkat dan pedagang-pedagang batik mencari daerah pemasaran baru. Daerah pasaran untuk tekstil dan batik di Jakarta yang terkenal ialah: Tanah Abang, Jatinegara dan Jakarta Kota, yang terbesar ialah Pasar Tanah Abang sejak dari dahulu sampai sekarang. Batik-batik produksi daerah Solo, Yogya, Banyumas, Ponorogo, Tulungagung, Pekalongan, Tasikmalaya, Ciamis dan Cirebon serta lain-lain daerah, bertemu di Pasar Tanah Abang dan dari sini baru dikirim kedaerah-daerah diluar Jawa. Pedagang-pedagang batik yang banyak ialah bangsa Cina dan Arab, bangsa Indonesia sedikit dan kecil.

Oleh karena pusat pemasaran batik sebagian besar di Jakarta khususnya Tanah Abang, dan juga bahan-bahan baku batik diperdagangkan ditempat yang sama, maka timbul pemikiran dari pedagang-pedagang batik itu untuk membuka perusahaan batik di Jakarta dan tempatnya ialah berdekatan dengan Tanah Abang. Pengusaha-pengusaha batik yang muncul sesudah perang dunia kesatu, terdiri dari bangsa cina, dan buruh-buruh batiknya didatangkan dari daerah-daerah pembatikan Pekalongan, Yogya, Solo dan lain-lain. Selain dari buruh batik luar Jakarta itu, maka diambil pula tenaga-tenaga setempat disekitar daerah pembatikan sebagai pembantunya. Berikutnya, melihat perkembangan pembatikan ini membawa lapangan kerja baru, maka penduduk asli daerah tersebut juga membuka perusahaan-perusahaan batik. Motif dan proses batik Jakarta sesuai dengan asal buruhnya didatangkan yaitu: Pekalongan, Yogya, Solo dan Banyumas.

Bahan-bahan baku batik yang dipergunakan ialah hasil tenunan sendiri dan obat-obatnya hasil ramuan sendiri dari bahan-bahan kayu mengkudu, pace, kunyit dan sebagainya. Batik Jakarta sebelum perang terkenal dengan batik kasarnya warnanya sama dengan batik Banyumas. Sebelum perang dunia kesatu bahan-bahan baku cambric sudah dikenal dan pemasaran hasil produksinya di Pasar Tanah Abang dan daerah sekitar Jakarta.

Pembatikan di Luar Jawa
Dari Jakarta, yang menjadi tujuan pedagang-pedagang di luar Jawa, maka batik kemudian berkembang di seluruh penjuru kota-kota besar di Indonesia yang ada di luar Jawa, daerah Sumatera Barat misalnya, khususnya daerah Padang, adalah daerah yang jauh dari pusat pembatikan dikota-kota Jawa, tetapi pembatikan bisa berkembang didaerah ini.

Sumatera Barat termasuk daerah konsumen batik sejak zaman sebelum perang dunia kesatu, terutama batik-batik produksi Pekalongan (saaingnya) dan Solo serta Yogya. Di Sumatera Barat yang berkembang terlebih dahulu adalah industri tenun tangan yang terkenal “tenun Silungkang” dan “tenun plekat”. Pembatikan mulai berkembang di Padang setelah pendudukan Jepang, dimana sejak putusnya hubungan antara Sumatera dengan Jawa waktu pendudukan Jepang, maka persediaan-persediaan batik yang ada pada pedagang-pedagang batik sudah habis dan konsumen perlu batik untuk pakaian sehari-hari mereka. Ditambah lagi setelah kemerdekaan Indonesia, dimana hubungan antara kedua pulau bertambah sukar, akibat blokade-blokade Belanda, maka pedagang-pedagang batik yang biasa hubungan dengan pulau Jawa mencari jalan untuk membuat batik sendiri.

Dengan hasil karya sendiri dan penelitian yang seksama, dari batik-batik yang dibuat di Jawa, maka ditirulah pembuatan pola-polanya dan ditrapkan pada kayu sebagai alat cap. Obat-obat batik yang dipakai juga hasil buatan sendiri yaitu dari tumbuh-tumbuhan seperti mengkudu, kunyit, gambir, damar dan sebagainya. Bahan kain putihnya diambilkan dari kain putih bekas dan hasil tenun tangan. Perusahaan batik pertama muncul yaitu daerah Sampan Kabupaten Padang Pariaman tahun 1946 antara lain: Bagindo Idris, Sidi Ali, Sidi Zakaria, Sutan Salim, Sutan Sjamsudin dan di Payakumbuh tahun 1948 Sdr. Waslim (asal Pekalongan) dan Sutan Razab. Setelah daerah Padang serta kota-kota lainnya menjadi daerah pendudukan tahun 1949, banyak pedagang-pedagang batik membuka perusahaan-perusahaan/bengkel batik dengan bahannya didapat dari Singapore melalui pelabuhan Padang dan Pakanbaru. Tetapi pedagang-pedagang batik ini setelah ada hubungan terbuka dengan pulau Jawa, kembali berdagang dan perusahaanny a mati.

Warna dari batik Padang kebanyakan hitam, kuning dan merah ungu serta polanya Banyumasan, Indramajunan, Solo dan Yogya. Sekarang batik produksi Padang lebih maju lagi tetapi tetap masih jauh dari produksi-produksi dipulau Jawa ini. Alat untuk cap sekarang telah dibuat dari tembaga dan produksinya kebanyakan sarung.

Senin, 26 Oktober 2009

BATIK KARYA INDONESIA

 
Sejarah teknik batik

Tekstil batik dari Niya (Cekungan Tarim), Tiongkok

Seni pewarnaan kain dengan teknik pencegahan pewarnaan menggunakan malam adalah salah satu bentuk seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti T'ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal.[2]. Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920-an.[3]

Walaupun kata "batik" berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7. [2]Di sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda) dan F.A. Sutjipto (arkeolog Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme tetapi diketahui memiliki tradisi kuna membuat batik.[4]

G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu.[4]

Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang Nadim yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140 lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam dalam perjalanan pulang dan hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang Sultan kecewa.[5] Oleh beberapa penafsir,who? serasah itu ditafsirkan sebagai batik.

Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman.[2]

Semenjak industrialisasi dan globalisasi, yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis baru muncul, dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Pada saat yang sama imigran dari Indonesia ke Persekutuan Malaya juga membawa batik bersama mereka.
 
        batik merupakan warisan nenek moyang yang harus dijaga.Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing. Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi 
 
BUDAYA BATIK
 
      Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya "Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak "Mega Mendung", dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Batik Cirebon bermotif mahluk laut

Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia ( Jawa ) yang sampai saat ini masih ada. Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB.
 
BEBERAPA MOTIF BATIK INDONESIA


  

PERKEMBANGAN BATIK INDONESIA



 Sejarah Batik Indonesia  
       Batik berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini.

        Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisioanal dengan ciri kekhususannya sendiri.


Perkembangan Batik di Indonesia
Sejarah pembatikan di Indonesia berkaitan dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan kerajaan sesudahnya. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.

Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
 Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.

Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari : pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.


Jadi kerajinan batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang hingga kerajaan berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah usai perang dunia kesatu atau sekitar tahun 1920. Kini batik sudah menjadi bagian pakaian tradisional Indonesia.


Batik Pekalongan
Meskipun tidak ada catatan resmi kapan batik mulai dikenal di Pekalongan, namun menurut perkiraan batik sudah ada di Pekalongan sekitar tahun 1800. Bahkan menurut data yang tercatat di Deperindag, motif batik itu ada yang dibuat 1802, seperti motif pohon kecil berupa bahan baju.

Namun perkembangan yang signifikan diperkirakan terjadi setelah perang besar pada tahun 1825-1830 di kerajaan Mataram yang sering disebut dengan perang Diponegoro atau perang Jawa. Dengan terjadinya peperangan ini mendesak keluarga kraton serta para pengikutnya banyak yang meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah - daerah baru itu para keluarga dan pengikutnya mengembangkan batik.

Ke timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulungagung hingga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkembang di Banyumas, Kebumen, Tegal, Cirebon dan Pekalongan. Dengan adanya migrasi ini, maka batik Pekalongan yang telah ada sebelumnya semakin berkembang.

Seiring berjalannya waktu, Batik Pekalongan mengalami perkembangan pesat dibandingkan dengan daerah lain. Di daerah ini batik berkembang di sekitar daerah pantai, yaitu di daerah Pekalongan kota dan daerah Buaran, Pekajangan serta Wonopringgo.
       Perjumpaan masyarakat Pekalongan dengan berbagai bangsa seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu dan Jepang pada zaman lampau telah mewarnai dinamika pada motif dan tata warna seni batik.

Sehubungan dengan itu beberapa jenis motif batik hasil pengaruh dari berbagai negara tersebut yang kemudian dikenal sebagai identitas batik Pekalongan. Motif itu, yaitu batik Jlamprang, diilhami dari Negeri India dan Arab. Lalu batik Encim dan Klengenan, dipengaruhi oleh peranakan Cina. Batik Belanda, batik Pagi Sore, dan batik Hokokai, tumbuh pesat sejak pendudukan Jepang.

Perkembangan budaya teknik cetak motif tutup celup dengan menggunakan malam (lilin) di atas kain yang kemudian disebut batik, memang tak bisa dilepaskan dari pengaruh negara-negara itu. Ini memperlihatkan konteks kelenturan batik dari masa ke masa.

Batik Pekalongan menjadi sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada ratusan pengusaha kecil, bukan pada segelintir pengusaha bermodal besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik Pekalongan dikerjakan di rumah-rumah. Akibatnya, batik Pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan yang kini terbagi dalam dua wilayah administratif, yakni Kotamadya Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan.

Pasang surut perkembangan batik Pekalongan, memperlihatkan Pekalongan layak menjadi ikon bagi perkembangan batik di Nusantara. Ikon bagi karya seni yang tak pernah menyerah dengan perkembangan zaman dan selalu dinamis. Kini batik sudah menjadi nafas kehidupan sehari-hari warga Pekalongan dan merupakan salah satu produk unggulan. Hal itu disebabkan banyaknya industri yang menghasilkan produk batik. Karena terkenal dengan produk batiknya, Pekalongan dikenal sebagai KOTA BATIK. Julukan itu datang dari suatu tradisi yang cukup lama berakar di Pekalongan. Selama periode yang panjang itulah, aneka sifat, ragam kegunaan, jenis rancangan, serta mutu batik ditentukan oleh iklim dan keberadaan serat-serat setempat, faktor sejarah, perdagangan dan kesiapan masyarakatnya dalam menerima paham serta pemikiran baru.

Batik yang merupakan karya seni budaya yang dikagumi dunia, diantara ragam tradisional yang dihasilkan dengan teknologi celup rintang, tidak satu pun yang mampu hadir seindah dan sehalus batik Pekalongan.